Thursday, 6 October 2011

Dunia Pendidikan Menaruh Ekspektasi Terlampau Tinggi Terhadap Anak Indonesia




Teringat cerita bokap tentang masa-masa sekolahnya dulu, bawa buku tulis cukup 2 saja, tapi otak bokap cerdas. Waktu sekolah, saat menemui kesulitan ya tanya bokap, dan dia tahu jawabannya. Jaman sekolah gue dulu, bawa buku berat-berat, satu pelajaran itu minimal 2 buku tulis, malah terkadang 3 hingga 4 buku.

Dalam sehari dapat pelajaran sekitar 3-5 pelajaran. Tas sekolah selalu berat dan terlampau berat untuk mereka yang pulang-pergi ke sekolah naik kendaraan umum. Terlalu letih untuk belajar. Dari pagi hingga siang menjelang sore.

Sekarang.. Anak sekolah sekarang semakin dituntut. Buku pelajaran wajib semakin berat untuk dibawa, dengan buku tulis sekitar 2 hingga 4 buku untuk tiap pelajaran. Sekolah dari pagi hingga siang sekitar jam 1 atau jam 2 siang. Sampai rumah sudah tepar. Cape. Makan. Belum lagi ada les, ngerjain pe-er, belajar buat ulangan besok.

Fenomena les memang sudah marak dari jaman gue sekolah dulu. Tapi, semakin diperhatikan, kenapa semakin banyak murid yang “dipaksa keadaan” untuk les? Jaman dulu yang les adalah yang kemampuan belajarnya terhambat. Sekarang? Semua murid berlomba-lomba untuk les. Mereka yang tidak les biasanya terhambat prestasinya dibandingkan mereka yang mengikuti les.

Ini adalah bahan introspeksi diri bagi mereka yang bergelut di dunia pendidikan, khususnya bagi mereka yang berada di dalam institusi tersebut, para pembuat kebijakan. Memang betul bahwa jaman semakin berkembang dan anak Indonesia harus siap menghadapi itu. Tapi ingat Pak, Bu, mereka itu tidak sekuat kalian fisiknya.. Bermain itu masih memiliki peranan penting..

Mengapa anak Indonesia harus dijejali berbagai macam mata pelajaran yang isinya mendalam? Tiap anak memiliki passion-nya masing2, jangan dituntut “pintar” dengan menjejali pelajaran yang semakin sulit dari masa ke masa, apalagi memasang standar nilai nasional. Apa hak kalian memasang standar itu? Bila semua sekolah sudah memiliki fasilitas memadai, bolehlah diberlakukan. Lihatlah keluar sedikit, banyak anak Indonesia yang pintar seperti yang kalian harapkan, namun terpaksa putus sekolah karena biaya pendidikan terlalu mahal. Banyak sekolah yang hampir ambruk. Masih banyak dari mereka yang kesulitan meraih harapan kalian karena tertinggalnya berbagai faktor pendukung seperti ketersediaan komputer, internet, dan guru berkualitas.

Seorang guru biologi pernah berkata, saya penting mempelajari biologi. Iya, saya tahu hal itu. Itu untuk kemajuan diri saya juga kok. Tapi apalah gunanya bila konten didalamnya terlalu berat, bahkan sang guru yang saat itu menempuh studi kuliah di bidang itu juga berkata itu materi kuliah? Saya menjawab, maaf, itu bukan passion saya. Saya menghargai biologi dengan mempelajarinya, namun jangan paksa saya menjadi ahlinya. Passion saya bukan disana. Beliau terdiam.

Tolonglah mengerti… Wahai kalian Bapak dan Ibu yang bergelut di dunia pendidikan, jangan membebani anak cucu kalian dengan beragam fantasi dan ekspektasi kalian yang terlalu tinggi. Cukuplah melihat dulu kondisi sebetulnya..

Tulisan ini merupakan ungkapan keprihatinan saya atas apa yang saya perhatikan selama ini. Semoga tulisan ini bisa disikapi dengan baik oleh yang membacanya. Mudah-mudahan ada ahli pendidikan yang membaca blog ini  :)

No comments: