Tuesday 28 June 2011

Janji Sehidup Semati di Hadapan Tuhan



Hari ini gue browse berita dan melihat sebuah berita tentang pemberkatan pernikahan antara Laura Basukidan Leo Sanjaja. Yang menarik disini adalah kata-kata yang keluar dari Pendeta Antonius Steven dan janji di hadapan Tuhan yang diutarakan pasangan ini.


Pendeta: "Saudara Leo, apakah saudara berjanji di hadapan Allah dan jemaah, mengambil Laura sebagai istri satu-satunya yang sah tetap mengasihi dalam suka dan duka, kelebihan dan kekurangan, tidak akan menceraikan sampai mati memisahkan?" 

Leo         :"Ya saya berjanji dengan sungguh-sungguh." jawab tegas Leo.

-prosesi tukar cincin-

Leo       : "Saya hari ini leo di hadapan Allah, berjanji akan mengasihimu, melayanimu. Berjanji setia kepadamu dalam keadaan apapun cincin ini kuberikan kepadamu sebagai lambang cinta kasihku."

Laura    : "Saya Laura Basuki menerima Leo Sanjaya sebagai suami satu-satunya."


Kata-kata yang terlontar adalah kata-kata yang sederhana, dalam, dan sungguh-sungguh. Inilah janji setia sehidup semati di hadapan Tuhan. Gue pernah dapat kata-kata dari twitter yang bunyinya, “The seasons change, so do I”. Manusia bisa berubah kapan saja, bisa berubah 180°, dan gue mengalami hal itu.

Seseorang yang kita sayang bisa saja berubah 180°, tapi yang gue percaya, ketika orang tersebut mengasihi Tuhan dengan sungguh-sungguh, ketika pernikahan itu terjadi dan janji sehidup semati itu terucap di hadapan Tuhan, maka orang tersebut tidak akan mengingkarinya, tak peduli apapun yang terjadi..

Monday 6 June 2011

My 22nd Birthday


Thank you Mega Kartika :D





06th June 2011. This is my 22nd birthday! Huaaa.. I’m getting older. Hihihi… However, I’m so happy that God allows me to have a great life in my 22 years life. He blesses my life more than what I think about. He provides what I need, even He provides answers to my pray amazingly!

Thank you for my best friend, Mega Kartika, for sending a yummy birthday cake to my office. I’m so surprised and so happy, Mey :D

Thanks, God.. I’m so happy to have a great family, especially my daddy, my mom, my brother, my Grandma. Thank you for blessing me in a beautiful way, even You send a beautiful angel named Mega Kartika as my best friend. Please bless our friendship so it wouldn’t end no matter what happen. I wish I can be a good pal for her :)

Dear God, You know my birthday pray and I believe that You hears my pray :)

Dear God, please bless the way I live, the way I speak, the way I behave, so my life will be pleased to You. 
With my colleague, Ci Irene

With my colleague, Dewi

Friday 3 June 2011

Lirik Pujian Sejati


Pujian Sejati
(By: Franky Sihombing)

Memuji-Mu lewat suaraku
T’rasa cukup bagiku

Namun semua
Ternyata lebih dari yang ‘ku kira
“Ku hanya peduli diriku
‘Ku tak mau tahu rindu-Mu

Tak cukup hanya ‘ku bernyanyi
Mengangkat suara ‘tuk memuji
Hidup memberi diri kepada-Mu
Itu kerinduan-Mu

Tak cukup mulut yang memuji
Tak cukup mulut yang bernyanyi
Melakukan firman-Mu
Itulah pujian sejati


Love is About Commitment, Not Only Feeling


I attended a GBI youth devotional on Wednesday (1st June 2011). The devotional was really inspiring me. The Priest taught me a lot. One of the interesting statement is “Love is about commitment, not only feeling”.

At first, he asked the attendees who already have children. He asked them, “When your son/daughter was still a baby and your baby always woke up in the middle of the night for every some hours, crying, asking for breast feeding, please tell me, did you enjoy it or did you tire to do so?”

I put attention on the question and I saw that those who already have children didn’t answer the question for sure. They just smile and nod. The Priest answered his question. He said that it is a tiring job for the parents. However, the parents still willing to do it because of love. No matter how tiring it is, the parents always willing to do so.

The point here is love is not just about feeling. Love requires sacrifice. The sacrifice means nothing because of love in our heart.

Private Vehicles VS Public Transportation



Traffic jam is daily problem which people face in Jakarta. The traffic jam causes a huge damage for the people. Adrianof Chaniago said that Jakarta loss Rp 43 trillion because of traffic jam. Jakarta is also predicted will face totally traffic jam in 2014.

The number of public transportation in Jakarta is small; there is only 2% of all vehicles. In the other hand, the number of private transportation is always increasing every day although the traffic jam is worse, the broad road is the same, and they need extra payment, such as fuel and vehicle maintenance. Many people moved from public transportation to private transportation because of some reasons, such as comfort, punctuality, even the prestige reason.

Some people argue that the problem is on the people’s mind. There a perception that it’s better to utilize private vehicle than to use public transportation because public transportation is Indonesia is not as good as public transportation is the other countries, such as Singapore and Hong Kong. The others think that those who utilize private transportation is not participate in reducing the traffic jam in Jakarta, they become problem with their own vehicles, and for the sake of prestige reason.

In my opinion, it’s not really important to discuss about the problem again and again without any action. For sure, I really envy with public transportation in Singapore and Hong Kong. I read the article about public transportation in Singapore and I really envy. The Government puts attention on it seriously. I’m sure if our Government could provide appropriate public transportation like what those countries do, many people in Jakarta who utilize their private transportation would be willing to use public transportation.

Wednesday 1 June 2011

Waria Juga Manusia, Sama Seperti Kita

Kehadiran waria di lingkungan sekitar kita sering kali menjadi suatu perdebatan. Pada umumnya orang percaya bahwa Tuhan hanya menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin saja, yaitu laki-laki dan peremuan. Oleh sebab itu, kehadiran mereka seringkali dianggap melenceng dari kehendak Tuhan.

Mereka yang mengakui dirinya sebagai waria paham benar dengan pandangan masyarakat tersebut. Namun ternyata, mereka memiliki suatu keyakinan tersendiri atas pilihan hidup mereka. Banyak dari mereka yang yang percaya bahwa Tuhan memiliki tujuan atas hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa Tuhan mengerti atas hidup mereka dan mereka menjadi waria karena adanya “keganjilan” yang terjadi di diri mereka sejak mereka kecil.

Hal ini merupakan landasan yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Tanpa kita sadari, di era globalisasi ini, banyak dari mereka yang berusaha memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya agar bermanfaat bagi orang lain. Hal ini juga dilakukan agar kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia dapat diakui.

Merlyn, salah seorang waria dari Malang, merupakan salah satu tokoh waria yang cukup terkenal di Indonesia. Sampai saat ini ia masih menjabat sebagai ketua IWAMA dan pernah masuk dalam bursa calon walikota Malang yang terbilang ‘sukses’ di dalam dunianya (sukses jadi selebriti dengan membintangi sinetron dan mungkin film, sukses mewakili Indonesia ke ajang pemilihan Ratu Waria Sejagad di Bangkok dan tentu saja sukses menjadi penulis buku karena bukunya laku keras).

Buku “Perempuan Tanpa V” merupakan sekumpulan cerpen yang ditulisnya berdasarkan kisah hidupnya. Buku ini menceritakan kehidupan waria, lengkap dengan pesan yang cukup menyentuh. Buku ini menunjukkan betapa kerasnya pejuangan seorang Merlyn dalam memperjuangkan ‘kesetaraan’ dan ‘pengakuan’ untuk seorang waria. Misi Merlyn dan buku-bukunya untuk membuka mata dunia akan keberadaan dan eksistensi kaum waria dapat dikatakan cukup berhasil. Lihat saja sekarang, waria mulai diperhitungkan di beberapa aspek kehidupan; dari industri hiburan seperti sinetron sampai pada aspek sosial seperti menjadi pengampanye anti-AIDS, dll.

Sebagai orang tua, tentu sulit menerima kenyataan bahwa anak lelaki mereka yang telah remaja memperlihatkan gelagat ke-feminin-an. Apa yang akan terjadi? Orang tua Merlyn, saat mengetahui anaknya memiliki sifat waria berkata: “Bapak tidak malu memiliki anak kamu (Merlyn), kamu adalah kamu, Bapak bisa terima kamu apa adanya, asalkan kamu bisa berprestasi.” Sekilas kita akan berpendapat, betapa bijaknya bapak itu. Tapi benarkah begitu? Yah, dukungan seperti itulah yang turut membuat Merlyn menjadi Merlyn.

Lalu, apakah salah kalau kita mengakui keberadaan dan eksistensi para waria? Mengakui mereka sebagai bagian dari kehidupan dan tentu saja mengakui mereka sebagai manusia sangat tidak salah, malah memang sudah seharusnya kita mengakui mereka seperti kita mengakui keberadaan teman-teman dan saudara kita yang lain. Sudah sewajarnya kita tidak menganggap mereka sebagai ‘sampah’, bagaimanapun, mereka adalah manusia, sama seperti kita Tapi, mengakui ke-waria-an mereka, itu yang harus kita pertanyakan. Pantaskan waria diakui sebagai waria? Keberadaan waria memang tidak bisa dihindari lagi, tapi jangan sampai kenyataan itu membuat kita menggeser nilai-nilai dan norma yang sudah ditetapkan Tuhan.


Tidak banyak yang tahu jika setiap 20 November, diperingati sebagai Hari Transgender/Waria Internasional. Selain peringatan itu baru memasuki tahun ke-9, masih sedikit masyarakat yang menaruh simpati pada para transgender ini.

Aksi kaum waria tiap 20 November dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia justru dianggap angin lalu. Bahkan, disikapi sinis banyak kalangan masyarakat. Padahal, para transgender ini amat rentan mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Mereka kerap menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, baik oleh perorangan, aparat hukum atau kelompok yang antiwaria atas dasar kebencian dan prasangka buruk.

Salah satu peristiwa yang menjadi tonggak diperigatinya hari transgender ini adalah terbunuhnya seorang waria bernama Rita Hester di San Fransisco pada 1998. Kasus ini tidak pernah terselesaikan hingga sekarang.

Korban-korban lain yang senasib dengan Rita Hester kemungkinan besar terus bertambah. Barangkali, razia Satpol PP terhadap para waria yang disertai dengan tindak kekerasan seperti menyeret, menjambak, mencemooh bahkan mencaci para waria adalah fenomena gunung es diskriminasi dan kekerasan terhadap para waria.

Apa yang membuat kaum transgender ini terus mengalami diskriminasi, baik secara sosial, budaya, pendidikan dan politik? Menurut Foucault dalam
Power/Knowledge, pelabelan atas penyimpangan seksual direproduksi oleh rezim yang sedang menguasai, mengorganisasi, merumuskan dan mengategorisasi makna.

Artinya, apa yang disebut sebagai penyimpangan seksual merupakan bentuk hegemoni bahasa. Hanya yang berkuasalah yang berhak memberikan stigma normal atau tidak normal dalam sebuah komunitas masyarakat.

Transgender/waria sebagai the minor term (baca : kelas pinggiran) tidak dikonstruksikan untuk keberadaan dan kepentingan kaum waria sendiri, namun justru untuk kepentingan kaum heteroseksual sebagai penyandang the major term.

Secara politis para transgender/waria ini justru dianggap sebagai sebuah kegagalan the minor term dalam upaya menyesuaikan diri dengan identitas gender (feminin-maskulin) dan seksual (laki-laki - perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia.

Kegagalan itulah yang kemudian digembar-gemborkan para pemegang kuasa makna melalui corong-corongnya (media, kebijakan dan sebagainya) sebagai acuan masyarakat untuk menolak mereka sebagai  “warga negara yang baik” dan “normal” (Alimi dalam Kadir,2007;80-81).

Padahal, kalau kita membaca beberapa babakan sejarah di Nusantara, dapat kita lihat betapa kaum transgender dulunya merupakan bagian dari komunitas masyarakat. Mereka bisa hidup berdampingan, baik dengan masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas.

Fenomena waria tidak muncul secara temporer di stasiun-stasiun kereta api, salon-salon, para desainer mode kelas menengah, penata rambut, peraga dan sejenisnya.

Mereka akan terus ada, karena mereka merupakan bagian dari peradaban manusia. Tindakan represif yang diarahkan kepada mereka justru malah akan menimbulkan perlawanan dan jika hal tersebut terjadi justru semakin memperumit keadaan.

Memberikan hak penuh bagi para transgender sesuai dengan UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pilihan bijak.
Memberikan kesempatan bagi para transgender untuk berkativitas dibidang politik, sosial, budaya, pendidikan dengan damai dan tenteram di tengah-tengah para heteroseksual adalah keputusan paling manusiawi.

Sebab, waria juga manusia, punya hati punya rasa. Masalahnya bagaimana dengan kita? Adakah hati dan rasa kita untuk mereka?

Littlejohn - Chapter 10


From what I read on Littlejohn &Foss’ book titled “Communication Theories, Theories of Human Communication” chapter 9 (Organization), I am interested in


Weber’s theory about bureaucracy which defines an organization is an interpersonal activity system that has a purpose that is designed to balance individual role. This can’t be done without authority, specification, and regulation.

I am interested in this theory because I am doing my internship program in a company and I found that Weber’s theory can be applied in the reality. Every employer in my office has their job desk and responsibility, which refers to their own authority, specification, and regulation.

I take the example from my experience. Last Thursday (9th December 2010), I attended a meeting in my office discussing their evaluation through year 2010. My department, which is Public Relations Department) was evaluated by the member of board. I was very surprised when in my company there is no written policy which explains the authority, specification, and regulation for each employer. For 12 years, every employer does their own authority, specification, and regulation based on what the boss told him/her. Public Relations Department was asked to make a written policy which contains them all, just in case there is a crisis, there is a specific person who allowed to clarify. The same purpose is there is a specific person just in case there is a great publication from the media about any negative things happened to the company.

Due to the example above, I find it interesting when I read Weber’s theory that explains my experience. Weber’s theory tells me the important of exact role and responsibility in those three aspects.

Questions: Do authority, specification, and regulation must be set by Public Relations Department? Based on my experience, are they the content of a company’s policy?


References:
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. Communication Theoris, Theories of Human Communication. Indonesian Edition, 9th Edition. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.

Littlejohn - Chapter 9


From what I read on Littlejohn &Foss’ book titled “Communication Theories, Theories of Human Communication” chapter 9 (Organization), I am interested in Weber’s theory about bureaucracy which defines an organization is an interpersonal activity system that has a purpose that is designed to balance individual role. This can’t be done without authority, specification, and regulation.

I am interested in this theory because I am doing my internship program in a company and I found that Weber’s theory can be applied in the reality. Every employer in my office has their job desk and responsibility, which refers to their own authority, specification, and regulation.

I take the example from my experience. Last Thursday (9th December 2010), I attended a meeting in my office discussing their evaluation through year 2010. My department, which is Public Relations Department) was evaluated by the member of board. I was very surprised when in my company there is no written policy which explains the authority, specification, and regulation for each employer. For 12 years, every employer does their own authority, specification, and regulation based on what the boss told him/her. Public Relations Department was asked to make a written policy which contains them all, just in case there is a crisis, there is a specific person who allowed to clarify. The same purpose is there is a specific person just in case there is a great publication from the media about any negative things happened to the company.

Due to the example above, I find it interesting when I read Weber’s theory that explains my experience. Weber’s theory tells me the important of exact role and responsibility in those three aspects.

Questions: Do authority, specification, and regulation must be set by Public Relations Department? Based on my experience, are they the content of a company’s policy?


References:
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. Communication Theoris, Theories of Human Communication. Indonesian Edition, 9th Edition. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.

Littlejohn - Chapter 8


From what I read on Littlejohn &Foss’ book titled “Communication Theories, Theories of Human Communication” chapter 8 (Group), I am interested in sociocultural tradition which has two main theories, they are group structure and group task&responsibility (page 338). The member of the group have a main goal with many steps to do. It requires a structure form in order to let the member do their own task and responsibility. It can divided into two theories, there are collective theory and functional theory to support this sociocultural tradition.

I am interested in this tradition and the two theories in it because I believe that an effective group requires structure and the task&responsibility. Collective theory and functional theory cannot be separated to achieve the group’s goal. A structure is needed because every member has his/her own capability.

Due to the example (please kindly find the attachment), a group has a complex and clear structure. It happens because a group has its own main goal and it cannot be reached if the group does not have a clear structure. If there is not a clear structure, the member will get a mess each other to do the activity. In the picture attached, a structure always leaded by a leader of the group and then it spreads to a lower position and more complex structure. Every position has its own task and responsibility and it refers to a specific one.

From the example above, I learnt that to make an effective group, a clear and complex structure is needed with cooperation in it. It requires the member commitment to do their own task and responsibility.

Question: If a position is left behind by those who responsibility in it, what best decision a leader must take?


References:
Littlejohn, Stephen W. and Karen A. Foss. Communication Theoris, Theories of Human Communication. Indonesian Edition, 9th Edition. Jakarta: Salemba Humanika, 2009.