Wednesday, 1 June 2011

Waria Juga Manusia, Sama Seperti Kita

Kehadiran waria di lingkungan sekitar kita sering kali menjadi suatu perdebatan. Pada umumnya orang percaya bahwa Tuhan hanya menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin saja, yaitu laki-laki dan peremuan. Oleh sebab itu, kehadiran mereka seringkali dianggap melenceng dari kehendak Tuhan.

Mereka yang mengakui dirinya sebagai waria paham benar dengan pandangan masyarakat tersebut. Namun ternyata, mereka memiliki suatu keyakinan tersendiri atas pilihan hidup mereka. Banyak dari mereka yang yang percaya bahwa Tuhan memiliki tujuan atas hidup mereka. Mereka juga percaya bahwa Tuhan mengerti atas hidup mereka dan mereka menjadi waria karena adanya “keganjilan” yang terjadi di diri mereka sejak mereka kecil.

Hal ini merupakan landasan yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Tanpa kita sadari, di era globalisasi ini, banyak dari mereka yang berusaha memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya agar bermanfaat bagi orang lain. Hal ini juga dilakukan agar kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia dapat diakui.

Merlyn, salah seorang waria dari Malang, merupakan salah satu tokoh waria yang cukup terkenal di Indonesia. Sampai saat ini ia masih menjabat sebagai ketua IWAMA dan pernah masuk dalam bursa calon walikota Malang yang terbilang ‘sukses’ di dalam dunianya (sukses jadi selebriti dengan membintangi sinetron dan mungkin film, sukses mewakili Indonesia ke ajang pemilihan Ratu Waria Sejagad di Bangkok dan tentu saja sukses menjadi penulis buku karena bukunya laku keras).

Buku “Perempuan Tanpa V” merupakan sekumpulan cerpen yang ditulisnya berdasarkan kisah hidupnya. Buku ini menceritakan kehidupan waria, lengkap dengan pesan yang cukup menyentuh. Buku ini menunjukkan betapa kerasnya pejuangan seorang Merlyn dalam memperjuangkan ‘kesetaraan’ dan ‘pengakuan’ untuk seorang waria. Misi Merlyn dan buku-bukunya untuk membuka mata dunia akan keberadaan dan eksistensi kaum waria dapat dikatakan cukup berhasil. Lihat saja sekarang, waria mulai diperhitungkan di beberapa aspek kehidupan; dari industri hiburan seperti sinetron sampai pada aspek sosial seperti menjadi pengampanye anti-AIDS, dll.

Sebagai orang tua, tentu sulit menerima kenyataan bahwa anak lelaki mereka yang telah remaja memperlihatkan gelagat ke-feminin-an. Apa yang akan terjadi? Orang tua Merlyn, saat mengetahui anaknya memiliki sifat waria berkata: “Bapak tidak malu memiliki anak kamu (Merlyn), kamu adalah kamu, Bapak bisa terima kamu apa adanya, asalkan kamu bisa berprestasi.” Sekilas kita akan berpendapat, betapa bijaknya bapak itu. Tapi benarkah begitu? Yah, dukungan seperti itulah yang turut membuat Merlyn menjadi Merlyn.

Lalu, apakah salah kalau kita mengakui keberadaan dan eksistensi para waria? Mengakui mereka sebagai bagian dari kehidupan dan tentu saja mengakui mereka sebagai manusia sangat tidak salah, malah memang sudah seharusnya kita mengakui mereka seperti kita mengakui keberadaan teman-teman dan saudara kita yang lain. Sudah sewajarnya kita tidak menganggap mereka sebagai ‘sampah’, bagaimanapun, mereka adalah manusia, sama seperti kita Tapi, mengakui ke-waria-an mereka, itu yang harus kita pertanyakan. Pantaskan waria diakui sebagai waria? Keberadaan waria memang tidak bisa dihindari lagi, tapi jangan sampai kenyataan itu membuat kita menggeser nilai-nilai dan norma yang sudah ditetapkan Tuhan.


Tidak banyak yang tahu jika setiap 20 November, diperingati sebagai Hari Transgender/Waria Internasional. Selain peringatan itu baru memasuki tahun ke-9, masih sedikit masyarakat yang menaruh simpati pada para transgender ini.

Aksi kaum waria tiap 20 November dalam upaya memperjuangkan hak-hak mereka sebagai manusia justru dianggap angin lalu. Bahkan, disikapi sinis banyak kalangan masyarakat. Padahal, para transgender ini amat rentan mengalami diskriminasi dan tindak kekerasan. Mereka kerap menjadi korban kekerasan dan pembunuhan, baik oleh perorangan, aparat hukum atau kelompok yang antiwaria atas dasar kebencian dan prasangka buruk.

Salah satu peristiwa yang menjadi tonggak diperigatinya hari transgender ini adalah terbunuhnya seorang waria bernama Rita Hester di San Fransisco pada 1998. Kasus ini tidak pernah terselesaikan hingga sekarang.

Korban-korban lain yang senasib dengan Rita Hester kemungkinan besar terus bertambah. Barangkali, razia Satpol PP terhadap para waria yang disertai dengan tindak kekerasan seperti menyeret, menjambak, mencemooh bahkan mencaci para waria adalah fenomena gunung es diskriminasi dan kekerasan terhadap para waria.

Apa yang membuat kaum transgender ini terus mengalami diskriminasi, baik secara sosial, budaya, pendidikan dan politik? Menurut Foucault dalam
Power/Knowledge, pelabelan atas penyimpangan seksual direproduksi oleh rezim yang sedang menguasai, mengorganisasi, merumuskan dan mengategorisasi makna.

Artinya, apa yang disebut sebagai penyimpangan seksual merupakan bentuk hegemoni bahasa. Hanya yang berkuasalah yang berhak memberikan stigma normal atau tidak normal dalam sebuah komunitas masyarakat.

Transgender/waria sebagai the minor term (baca : kelas pinggiran) tidak dikonstruksikan untuk keberadaan dan kepentingan kaum waria sendiri, namun justru untuk kepentingan kaum heteroseksual sebagai penyandang the major term.

Secara politis para transgender/waria ini justru dianggap sebagai sebuah kegagalan the minor term dalam upaya menyesuaikan diri dengan identitas gender (feminin-maskulin) dan seksual (laki-laki - perempuan) yang telah terstruktur jelas di Indonesia.

Kegagalan itulah yang kemudian digembar-gemborkan para pemegang kuasa makna melalui corong-corongnya (media, kebijakan dan sebagainya) sebagai acuan masyarakat untuk menolak mereka sebagai  “warga negara yang baik” dan “normal” (Alimi dalam Kadir,2007;80-81).

Padahal, kalau kita membaca beberapa babakan sejarah di Nusantara, dapat kita lihat betapa kaum transgender dulunya merupakan bagian dari komunitas masyarakat. Mereka bisa hidup berdampingan, baik dengan masyarakat kelas bawah maupun masyarakat kelas atas.

Fenomena waria tidak muncul secara temporer di stasiun-stasiun kereta api, salon-salon, para desainer mode kelas menengah, penata rambut, peraga dan sejenisnya.

Mereka akan terus ada, karena mereka merupakan bagian dari peradaban manusia. Tindakan represif yang diarahkan kepada mereka justru malah akan menimbulkan perlawanan dan jika hal tersebut terjadi justru semakin memperumit keadaan.

Memberikan hak penuh bagi para transgender sesuai dengan UU Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah pilihan bijak.
Memberikan kesempatan bagi para transgender untuk berkativitas dibidang politik, sosial, budaya, pendidikan dengan damai dan tenteram di tengah-tengah para heteroseksual adalah keputusan paling manusiawi.

Sebab, waria juga manusia, punya hati punya rasa. Masalahnya bagaimana dengan kita? Adakah hati dan rasa kita untuk mereka?

No comments: